Hidup Ini Pilihan, Atau Takdir?
Hidup Ini Pilihan, Atau Takdir?
Felix Yanuar Siauw
Felix Yanuar Siauw
Ya sudahlah.. percuma aku berusaha lebih keras lagi, ini sudah takdirku…
Untuk apa mendakwahkan Islam untuk memperbaiki umat?! kenyataan bahwa kaum muslim kini terpuruk sudah takdir yang diberikan Allah…
Semua penderitaan kita sudah tertulis di Lauh al-Mahfudz, jadi walaupun kita terus berjuang mengubah kemunkaran, tidak akan ada yang berubah!
Sudah garis tangannya Si Fulan untuk menjadi ustadz yang paham agama, sedangkan aku garis tangannya menjadi pengusaha. Oleh karena itu bukan urusanku untuk menyampaikan agama Islam.
Rizki itu di tangan Allah, semua sudah ditentukan sebelum kita dilahirkan di dunia, jadi jangan kuatir dengan rizki, kalau memang rizki itu milik kita, ia akan datang walaupun kita tidak mengusahakannya…
Kegagalan saya bukanlah kesalahan saya, melainkan sudah takdir dari yang Maha Kuasa…
Untuk apa mendakwahkan Islam untuk memperbaiki umat?! kenyataan bahwa kaum muslim kini terpuruk sudah takdir yang diberikan Allah…
Semua penderitaan kita sudah tertulis di Lauh al-Mahfudz, jadi walaupun kita terus berjuang mengubah kemunkaran, tidak akan ada yang berubah!
Sudah garis tangannya Si Fulan untuk menjadi ustadz yang paham agama, sedangkan aku garis tangannya menjadi pengusaha. Oleh karena itu bukan urusanku untuk menyampaikan agama Islam.
Rizki itu di tangan Allah, semua sudah ditentukan sebelum kita dilahirkan di dunia, jadi jangan kuatir dengan rizki, kalau memang rizki itu milik kita, ia akan datang walaupun kita tidak mengusahakannya…
Kegagalan saya bukanlah kesalahan saya, melainkan sudah takdir dari yang Maha Kuasa…
Kata-kata takdir sering kali membatasi manusia dari melakukan yang terbaik dari dirinya, menjadi yang terbaik, dan mengubah sesuatu yang berada di depannya. Kata ini seolah-olah menjadi legitimasi bagi seseorang untuk melakukan aktivitasnya secara minimalis dan menjadi alasan khususnya bagi kaum muslim untuk menghindar dan mengelak dari seruan Tuhan mereka.
Kesalahan
pandangan terhadap konsep takdir biasanya dimulai dari tidak tepatnya
seseorang mengartikan ketiga hal yang berkaitan dengan Allah, yaitu Ilmu
Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz. Mereka yang berpandangan
salah tentang konsep takdir merasa bahwa apa yang mereka lakukan dan
yang terjadi di dunia sudah diketahui oleh Allah sebagai yang Maha Tahu,
sudah dikehendaki Allah sebagai yang Maha Berkehendak serta sudah
tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz.
Sebagai
manusia, makhluk yang terbatas, mereka merasa terpaksa berada dalam
kondisi yang memang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Padahal
ketiga hal tersebut, yaitu Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh
al-Mahfudz tidak boleh sekali-kali dicampuradukan dengan pembahasan
takdir, karena tidak seorang pun yang mengetahui ilmu Allah, seperti apa
Allah berkehendak atas dirinya, dan juga tidak mengetahui apa yang
tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz.
Ada sebuah ilustrasi yang sangat masyhur. Adalah seorang pencuri yang tertangkap dimasa pemerintahan Islam sedang jaya-jayanya. Sang pencuri ini tengah diproses oleh seorang Hakim. Lalu si pencuri berkata membela diri ”Wahai tuan hakim, sungguh tidak pantas tuan menghukum saya”. Dia melanjutkan, ”karena apa yang saya lakukan ini sesungguhnya sudah diketahui oleh Allah dan Allah membiarkannya (mengizinkannya), dan sesungguhnya Allah-lah yang berkehendak atas terjadinya pencurian ini, dan kita semua tahu, di Lauh al-Mahfudz sesungguhnya telah tertulis semua aktivitas kita dari mulai dilahirkan sampai kita menemui ajal, termasuk pencurian ini sesungguhnya telah tertulis di kitab tersebut, sehingga tidak pantas tuan hakim menjatuhkan hukuman kepada saya, karena perbuatan ini bukan karena kehendak saya”.
Hakim tersebut lalu berpikir tentang hal tersebut, setelah lama berpikir akhirnya ia mengeluarkan keputusan untuk menghukum si pencuri itu. ”Baik, masukkan dia ke dalam sel penjara!”, ujarnya. Si pencuri protes kepada tuan hakim dengan penjelasannya yang panjang lebar tadi, yang intinya adalah pencurian itu bukan kehendaknya tetapi kehendak Allah, atau sudah nasibnya. Sang hakim pun berkata dengan tenang ”Sebenarnya saya tidak mau menjatuhkan hukuman kepadamu, tetapi bagaimana lagi, ini juga kehendak Allah, dan di Lauh al-Mahfudz juga sudah tertulis pada hari ini dan waktu ini saya mengeluarkan hukuman penjara bagimu!”
Punya Pilihan
Ilustrasi di atas memberikan kita kejelasan bahwa si pencuri mencoba mencampuradukkan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz dalam pembahasan takdir, sehingga pembahasan takdir menjadi kacau. Dan sampai sekarang pun masih banyak kelompok atau individu yang salah memahami konsep takdir, sehingga termasuklah mereka kedalam kaum fatalis, yaitu kaum yang menganggap bahwa manusia seperti daun yang terombang ambing di permukaan air.
Ilustrasi di atas memberikan kita kejelasan bahwa si pencuri mencoba mencampuradukkan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz dalam pembahasan takdir, sehingga pembahasan takdir menjadi kacau. Dan sampai sekarang pun masih banyak kelompok atau individu yang salah memahami konsep takdir, sehingga termasuklah mereka kedalam kaum fatalis, yaitu kaum yang menganggap bahwa manusia seperti daun yang terombang ambing di permukaan air.
Dengan
kata lain, manusia tidak mempunyai pilihan untuk mengarahkan hidupnya.
Kaum fatalis ini menganggap masuknya manusia ke dalam surga ataupun
kedalam neraka sesungguhnya telah ditentukan sejak awal, dan manusia
tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya.
Jika kita menginginkan untuk berfikir efektif dan produktif, hendaknya kita tidak boleh mencampuradukkan pembahasan takdir dengan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz. Tidak kita sangsikan bahwa Allah pasti mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada dunia yang diciptakan-Nya. Ia juga mengetahui semua perbuatan hamba-Nya, baik yang telah kita perbuat, yang sedang kita buat maupun yang akan kita perbuat. Dan kita pun tahu bahwa apa pun yang menjadi kehendak Allah pastilah terjadi di atas muka bumi ini.
Kita pun yakin bahwa semua perbuatan kita dari lahir hingga mati sesungguhnya telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Tetapi, semua itu tidak berarti kita tidak bisa memilih apa yang kita perbuat. Sebagai contoh, Allah sudah mengetahui dan berkehendak Anda membaca artikel ini di Lauh al-Mahfudz pun sudah tertulis, pada tanggal ini jam sekian Anda membaca sampai pada pembahasan takdir ini. Tetapi Anda juga ingat bahwa ketika berada di website ini Anda bisa memilih dengan bebas apakah artikel ini ataukah artikel lain yang Anda baca.
Dengan
kata lain, Anda memiliki pilihan untuk melakukan sesuatu, memilih
sesuatu dan menjadi sesuatu. Kehendak bebas atau kesempatan memilih yang
diberikan Allah kepada manusia inilah yang akhirnya melahirkan
konsekuensi logis, yaitu pertanggungjawaban manusia atas
perbuatan-perbuatan yang dipilih olehnya. Pertanggungjawaban ini di
akhirat kita sebut dengan prosesi hisab. Di dunia pun, sudah sewajarnya
bila kita dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipilihnya.
Pada
seorang individu, selain perbuatan-perbuatan atau kejadian-kejadian
yang bisa dipilih dan berada di dalam kendali manusia untuk memilihnya,
ada juga kejadian-kejadian di mana manusia tidak mempunyai pilihan
atasnya, dan dipaksakan terjadi atas manusia itu, serta sudah ditetapkan
atas manusia, baik dia suka maupun tidak. Misalnya, manusia pasti akan
mati, wanita memiliki kemampuan melahirkan, pria memiliki kecenderungan
kepada wanita, matahari terbit dari timur dan terbenam di barat, bencana
alam yang terjadi dan lain-lain.
Dalam
hal ini, Allah tidak memberikan ruang kepada manusia untuk memilih,
sehingga apa pun yang terjadi, manusia tidak perlu atau tidak akan
dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi, karena hal itu tidak
dapat dipilihnya. Di dunia pun, Anda tidak akan dimintai
pertanggungjawaban atas hal yang tidak bisa anda pilih. Misalnya, tidak
seorang pun bertanya kepada Anda, kenapa anda adalah seorang pria? atau
bertanya kepada Anda, mengapa matahari terbit dari timur? Mengapa
manusia akan mati?. Sekali lagi, dalam hal yang tidak bisa kita pilih,
kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi pada
diri kita maupun orang lain.
Tidak dapat dipilih
Sederhananya adalah, kejadian-kejadian yang terjadi pada manusia bisa dikelompokkan dalam dua bagian. Bagian pertama adalah kejadian yang terjadi pada diri manusia yang dapat dipilih. Bagian kedua adalah kejadian yang terjadi pada diri manusia yang tidak dapat dipilih, atau dipaksa terjadi atasnya. Pada bagian pertama, kita bisa memilih perbuatan atau kejadian sesuai keinginan kita, karena itulah kejadian itu akan dimintai pertanggungjawaban. Hal ini berarti, menjadi rajin ataupun menjadi malas, menjadi orang yang amanah atau yang khianat, menjadi seorang pemarah atau penyabar, menaati perintah Allah atau membangkangnya adalah sesuatu yang dapat kita pilih.
Sedangkan pada bagian kedua, kita dipaksa menerima kejadian itu dan tidak diberikan pilihan, inilah yang kita sebut takdir. Dan terhadap takdir atau ketetapan yang diberikan kepada kita, baik atau burauknya itu menurut kita, maka kita wajib mengimaninya, dan yakin bahwa itu yang terbaik untuk kita yang berasal dari Allah swt.
Prakteknya
dalam kehidupan sehari-hari, jika sesuatu terjadi atas kita ataupun
terhadap orang lain, dan itu tidak dapat dipilihnya, maka kita tidak
boleh protes atau mengeluh secara berlebihan, serta tidak boleh
menyalahkan diri sendiri atas kejadian itu. Karena itu semua berasal
dari Allah, dzat yang maha memberi ketetapan, dan apa yang diberikan
oleh-Nya pasti baik.
Setelah
pembahasan ini, kita menyadari bahwa tidak sepatutnya kita menyalahkan
takdir atas kejadian-kejadian yang sebenarnya bisa kita pilih. Apa yang
terjadi di masa yang lalu mungkin beberapa diantaranya termasuk dalam
hal yang bisa kita pilih. Masa depan pun sesungguhnya bisa kita pilih,
ingin menjadi apakah Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar